Senin, 29 Desember 2008

Pancious: Pancake House


Hmm... I love eating. This is my 1st culinary reviews. Hehe. One of my fave, Pancious: Pancake House. Pancious is not only sell yummy pancakes and waffle, but also delicious pasta, and other food...Makanan di Pancious porsinya cukup besar dan mengenyangkan buat cewe. Jadi, kalo kamu pengen nyobain macem-macem rasa, mendingan sharing sama temen-temen
kamu=)...

Well, I've tried:
- Pasta: kamu bisa pilih pasta kamu. ada fettucinne, spaghetti, and penne. I love fetucinne=)
*Mushroom
kalo suka banget sama pasta yang creamy, pasti suka banget sama Mushroom. best part-nya tuh jamur goreng yang gurih. Must try!

*Smoked beef
smoked beef sliced-nya banyak (sampe pasta kamu udah mau habis aj, smoked beef sliced-nya masih banyak), gurih, tapi wangi bawang-nya agak kental jadi, kalo kamu kurang suka rasa bawang ato bau bawang, pilih yang lain aja. hehe. tapi rasa bawangnya gak bikin eneg, cukup ringan, I can finish my plate (fyi, I don't like garlic, onion, hehe. I only like welsh)

*Creamy cajun beef
Love the cajun things=P

- Buger:
*Cheese burger
Kalo kamu lagi laper banget, I recommended this menu. All of carbs is here. Mulai dari french fries, daging burgernya, sampe roti burgernya (hey, it's Pannini bread-sumpah kenyang bgt! ahaha=P).

-Pancakes and waffles:
ini nih, speciality-nya Pancious. It has best pancakes and waffles in town=). Tapi kalo aku sih lebih suka waffle-nya. Lebih renyah...kamu bisa pesen menunya campur pancake dan waffle, lho=)
Picture 1 Blueberry cheese pancake and waffle.
*Blueberry cheese
ada potongang-potongan blueberry, cream cheese, dan 1 scoop ice cream. Aku saranin sih pilih ice cream vanilla, biar rasanya lebih pure dan gak complex.
*Strawberry cheese
sama kaya blueberry cheese, tapi buahnya strawberry..
*Choco bailey's
ini menu barunya pancious, jadi waffle and/or pancakes nya dilumurin choc fudge, dan bailey's (kind of alcoholic drink that has milk choc flavour), gak lupa 1 scoop home made ice cream

Outletnya Pancious ada di Pasific Place sama di Permata Hijau. But, I only visited one in Pasific Place. Nice decoration. Interiornya mengusung tema edgy, minimalis, yang didominasi warna merah dan putih. kalo kamu ke sana buat makan siang, jangan dateng pas jam makan siang, mendingan sedikit sebelum (11 a.m), kalo ngga kamu bakal ngantri buat dapetin kursi. Oh, ya pasta sekitar 40rbuan, burger sekitar 30 rbuan, pancake dan waffle sekitar 20rbuan. kalo mau minum hemat, minum ice tea / hot tea aja. Rp 8000,- (Refill). Haha. Share juga tuh minuman sama temen kamu;p...Well, It's worth a try. Kalo udah nyoba, cerita-cerita yah...
Picture 2 Together @ Pancious, Pasific Place.

Last things, quote-nya Pancious:
"Food is for eating, good food is to be enjoyed..."

Libera Me


Bebaskan aku...
dari bulir-bulir dingin embunmu

Bebaskan aku...
dari percik-percik air surgamu

Bebaskan aku...
dari serpih-serpih pasir lautmu

Bebaskan aku...
dari padamu

-dHe2 012006-

A Si Como Ayer


(Just like yesterday in Spanish)

Just like yesterday,
You shout to me, "Run... run to nowhere!"
And just like yesterday,
You find me again, somewhere

-dHe2 012006-

Anesthesia

Neither masochist nor mastermind
being trapped in vicious circle behind
the persistence of the illness,
trying to know whether it's endless...

-dHe2 022006-

Minggu, 28 Desember 2008

Llover


(Llover: rain in Spanish)

"Kemarilah sayang, rasakanlah tiap tetes yang menyesap pada liang tubuhku..."
"Porque no?"

"Kemarilah sayang, reguklah tiap bulir yang menyusun lembar-lembar sukmaku..."
"Esto no es mio."

"Kemarilah sayang, terbanglah bersama buai lembut tarian
hujanku..."

"...Y estoy perdido..."

-dhe2 15042006-

My Perfect Enemy


this is a poem from one of my beloved friend, thanks for sharing your story with me. I'm really appreciate=)...

Let hatred binds us eternally
when love for us is not a possibility
Let us be the greatest enemy can be,
My perfect enemy...
When my days turned blue
I used to ever think of you
Rain poured down, I remember...
As my tears drop down today, 'cos now you are
My perfect enemy...

Now, even worse than ever
I'm thinking about you
and times we were together,
My perfect enemy...

Can we remind...those times we left behind?
Can we be just like we used to be,
My perfect enemy?

Yes, I missed those memories
and still I'm missing you
the way we talked,
the way we laughed at things

I hate our terms nowadays...
Just like I hate you,
and myself that hates you,
every possible ways

Holding your hands was when I'm afraid of nothing...
Cannot barely talk to you now is my worse thing
Even if we are close, we will never again
From now on...
separately we will
live on each way

As the moon and the sun,
Their meeting creates elliptical darkness everytime
As we are now,
we destruct each other even with every meet of our eyes,
My perfect enemy...
Neglect each other, defying one another,
for us hatred is now better,
My perfect enemy...

It's the only way we can be together
For I loved you...
Now I'll hate you as best as I can
I'll try the hardest...

Let hatred binds us eternally
when love turned down the possibility
Let us be, the greatest gruesome story that can be,
My perfect enemy...

Kamis, 25 Desember 2008

TSB and HEA

TSB (Trypticase Soy Broth)

Pada praktikum isolasi dan identifikasi Salmonella, TSB digunakan untuk enrichment. TSB merupakan basic medium yang digunakan untuk mengkultur berbagai macam jenis mikroorganisme. TSB biasanya digunakan untuk mendapatkan bakteri dalam jumlah banyak sebagai supply untuk berbagai uji – uji biokimia. TSB juga dapat digunakan untuk menentukan jumlah bakteri (Aken-Murray Co. 2008). Bahan – bahan pembuat TSB yakni: Trypticase Soy Broth 30 gram, deionized, distilled water 1.0 liter (Aken-Murray Co. 2008).

HEA (Hektoen Enteric Agar)

HEA merupakan media semi selektif yang dikembangkan pada tahun 1967 oleh King and Metzger dari Hektoen Institute dengan tujuan menaikkan tingkat recovery Shigella and Salmonella. Kandungan HEA sekarang agak berbeda dari HEA terdahulu. Sodium desoxycholate telah dihilangkan, konsentrasi garam empedu diturunkan, dan konsentrasi pepton ditingkatkan untuk menyeimbangkan efek penghambatan dari garam empedu. Garam empedu merupakan bahan selektif yang akan menghambat pertumbuhan bakteri gram positif, walaupun sebenarnya garam empedu juga bersifat toksik bagi beberapa jenis bakteri gram negatif. Media HEA mengandung 3 jenis gula, yakni laktosa, sukrosa, dan salisin yang bertujuan menyediakan gula – gula untuk diferementasi oleh bakteri enterik, serta mengoptimalkan diferensiasi bakteri tersebut dari perubahan warna koloni dan media.

Konsentrasi laktosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan media lain yang digunakan untuk identifikasi bakteri enteric bertujuan membantu visualisasi bakteri enterik yang patogen dan mengurangi masalah penundaan fermentasi laktosa oleh bakteri.

Indikator pada media HEA adalah fuksin asam dan bromtimol blue yang memiliki sifat toksisitas rendah. Sodium thiosulfate adalah sumber sulfur darimana H2S dihasilkan. Ferric ammonium citrate adalah sumber besi dan merupakan indikator adanya produksi H2S. Ferric ammonium citrate juga memberikan visualisasi H2S yang dihasilkan dengan membentuk endapan hitam. Gabungan thiosulfat dengan ferric ammonium citrate menyebabkan produksi H2S, ditandai dengan munculnya koloni yang berwarna hitam (BD 2008).

Bakteri enterik yang memfermentasikan satu atau lebih gula akan membentuk koloni berwarna kuning, sedangkan yang tidak memfermentasikan gula akan membentuk koloni berwarna biru-hijau. Bakteri - bakteri yang mereduksi sulfur menjadi hidrogen sulfida akan membentuk koloni berwarna hitam atau biru-hijau dengan bintik hitam di bagian tengahnya. Berikut adalah formula HEA: pepton, yeast extract, bile salts, laktosa, sukrosa, salisin, sodium klorida, sodium thiosulfat, ferric ammonium citrate, fuksin asam, bromtimol blue, dan agar. Selain media HEA, dapat digunakan media selektif lainnya seperti media Xylose Lysine Desoxycholate (XLD) dan Bismuth Sulphite Agar (BSA) (King & Metzger 1968).

Gambar 1 Salmonella sp. (kiri, pola pertumbuhan karpet) dan Shigellae flexneri (kanan, koloni-koloni tunggal) pada media HEA (BD 2008)

DAFTAR PUSTAKA

[Aken-Murray Co.]. 2008. Preparation of Trypticase Soy Broth [terhubung berkala]. www.amco.com [26 Mar 2008].

[BD]. 2008. Hektoen Enteric Agar [terhubung berkala]. www.bd.com [28 Mar 2008].

King S, Metzger WI. 1968. A new plating medium for the isolation of enteric pathogens. I. Hektoen enteric agar. Appl Microbiol 16:577-578.

Ping-ping

“Woi, Ping sini lo! Jangan lari! Dasar sekya! Udah SMA tapi kelakuan masih kayak anak kecil, bersihin celana olahraga gue yang lo coret – coret!” teriakan Dodo si ketua kelas membahana di seluruh kelas. Yang namanya disebut – sebut cuma cengengesan sambil lari menghindari jitakan Dodo.

٭

Yah, itulah Ping – ping, teman sebangkuku. Nama aslinya Pingkan. Jahilnya ampun – ampunan. Kelakuannya lebih sering kayak anak SD ketimbang anak SMA, apalagi didukung mukanya yang imut dan tubuhnya yang nggak cukup tinggi, Ping – ping benar - benar lebih cocok jadi anak SD. Aku, teman sebangkunya sudah cukup sering menjadi sasaran keusilannya. Mulai dari menyembunyikan barang – barang sampai mengikatkan tali sepatuku ke kaki meja. Yah, tabah saja, lah.

Tapi kadang – kadang kelakuannya yang sekya menguntungkan juga, he he. Waktu itu kelas kami sedang pelajaran kosong karena Pak Sarto, guru elajaran kewarganegaraan tidak masuk. Aku, selaku bendahara kelas sibuk menagih uang kas ke teman – teman yang belum membayar. Susahnya minta ampun, ada saja alasan mereka untuk tidak membayar uang kas. Padahal uang kas itu penting sekali untuk membayar fotokopi hand out dan soal – soal ulangan. aku melirik Ping – ping, ia sudah tidak berada di sebelahku. Mataku menelusuri kelas mencarinya.

Ia tampak sedang bermain karu dengan beberapa anak laki – laki.

“Yay, gue menang lagi!” teriak Ping – ping girang. “Yang kalah mesti joget ayam – ayam – bebek!” kata Ping – ping cengengesan.

“Gimana tuh, Ping?” tanya Udin, salah satu dari mereka.

“Ah, gimana sih lo pada? Nih gue ajarin. Ikutin, yah.”

Astaga, ia mengajari cowok – cowok itu menyanyi sambil menari, “Ayam, ayam, ayam, bebek…bebek, bebek, bebek, ayam…ayam entok bebek…bebek entok ayam…ayam bebek entok – entokan…” nyanyi Ping – ping sambil bergoyang.

Kemudian mereka menyanyi lagi sambil bergoyang bersama. Ya ampun, ini kelas 2 SMA atau kelas TK sih, pikirku. Tiba – tiba mata Ping – ping menangkap mataku, aku tersenyum, ia balas nyengir. Beberapa saat kemudian, ia mendatangiku, “Mau dibantu, Rani?” tanyanya padaku. Belum sempat aku menjawab, ia sudah menarik aku berdiri. Ia berdiri di belakangku dan memegang pundakku. Lalu ia berjalan sambil mendorongku hingga aku berjalan mengikuti langkahnya.

“Naik kereta api, tut…tut…tut…” Ping – ping menyanyi.

“Apa – apaan sih, Ping? Malu tau…”

Ping – ping cuek.

“Siapa yang belum bayar, Ran?”

Aku geleng – geleng kepala,

“Rio, Bayu, Andre, Gino, Tari, dan Sally.” Jawabku.

Masih dengan posisi seperti kereta api, aku dan Ping – ping mendatangi mereka satu per satu dan menagih uang kas. Selama itu aku cuma mengawali dengan kalimat pembuka seperti ‘halo, hai, dan sebagainya’ selebihnya Ping – ping yang bernegosiasi dengan mereka. Ajaibnya, mereka jadi mau mengeluarkan uang untuk membayar uang kas, kecuali Tari, itu juga karena dompetnya tertinggal di rumah.

Dengar – dengar dari temanku yang sejak SD satu sekolah dengan Ping – ping, Ping – ping adalah anak bungsu dari sebuah keluarga broken home. Katanya, ayah Ping – ping pergi dengan wanita lain, meninggalkan keluarganya, Ping – ping, ibunya, dan kedua abangnya. Kedua abangnya kini berada di pusat rehabilitasi karena ketahuan memakai obat – obatan terlarang. Well, buat Ping – ping, life isn’t as easy as she acts in. Tapi, kenyataannya bagaimana ia bisa seceria itu?

٭

Krrriiinng….

Bel tanda istirahat berbunyi. Aku beranjak dari tempat dudukku dan mengeluarkan buku yang akan kukembalikan ke perpustakaan. Lalu aku melangkah ke luar kelas. Sebelumnya, aku sempat melihat Ping – ping menjahili Dodo lagi.

٭

Cukup tentang Ping – ping. Hari ini aku sedang berbunga – bunga, kemarin malam, Dion, sang ketua OSIS meneleponku, walaupun untuk menanyakan tentang acara OSIS yang akan diadakan minggu depan, setidaknya kami sempat mengobrol sebentar. Yah, sebenarnya sudah lama aku menyukai Dion, dialah alasan utamaku ikut LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) yang sama sekali nggak mudah dan ngotot kepingin jadi pengurus OSIS. Masih kuingat jelas obrolan resmi yang menyenangkan itu.

“Halo, Raninya ada?”

“Iya? Saya sendiri…”

“Rani, ini Dion. Ehm, tentang lomba mading minggu depan. Gue pengin tau

perkembangannya.”

“Oh, beres. Minggu depan pasti jadi, kok. Pesertanya udah terkumpul dan urusannya udah beres.”

“Bagus. Lo emang selalu dapat diandalin, Rani.”

“Terima kasih. Ah, tapi nggak juga, kok. Gue masih bingung soal konsumsi. Dana udah ada. Tapi seksi konsumsi belom tau mau beli makanan apa. ”

“Oh, begitu. Mungkin besok kita bisa pergi bareng buat nyari makanan apa kira – kira yang cocok kita buat konsumsi. Gimana?”

“……Oh, Boleh – boleh.”

“Oke, deh kalo gitu. Thanks, yah. Sampai besok, Rani. Bye.”

“Bye, Dion.” Saat itu aku menutup telepon sambil senyum – senyum sendiri. Boleh, dong ge – er sedikit, Dion tadi bermaksud mengajakku jalan. Sepertinya dia ada hati sama aku. Hehe…

Ehm, obrolan kemarin sudah cukup membuatku senang, mungkin kami benar - benar bisa jalan bareng, makan bareng, atau…

Bruk! Karena keasyikan berpikir aku jadi meleng. Buku yang ada di tanganku terjatuh.

“Eh, sori Rani.” Kata sebuah suara yang sangat kukenal.

“Nggak papa, Ping. Guenya yang meleng, kok.” Kataku sambil tersenyum dan dibalas dengan sebuah cengiran khas Ping – ping.

Belum sampai satu menit adegan aku menabrak Ping – ping, tiba – tiba kami mendengar teriakan – teriakan kehebohan dari ujung lorong, “Cieee, yang baru jadian…” Aku dan Ping – ping sama- sama menoleh untuk mencari tahu siapa objek yang dimaksud.

Jgerr! Ya ampun…itu Dion sedang bergandengan tangan dengan…oh tidak!...si kuper Dina. Saat itu juga aku benar – benar merasa seperti seorang pecundang. Ping – ping nampaknya menangkap perubahan sikapku. Ia tak berkata – kata dan meninggalkanku sendirian sambil tersenyum penuh arti.

Aku tak lagi memperdulikan penjelasan Pak Beni tentang Teori Kinetik Gas, atau apapun itu. Aku tenggelam dalam kekesalan, kekecewaan, dan rasa sakit hatiku.

“Ssst…sst.”

Aku menoleh dan melihat Ping – ping tersenyum polos, polos sekali, benar – benar tanpa dosa. Entah mengapa aku jadi sedikit terhibur melihat senyumnya.

“Rani, yang gue lihat dari reaksi lo tadi, lo naksir sama Dion, ya? Dan lo ngerasa dipecundangi sama Dina, kan?”

Aku terkejut, darimana ia tahu semua itu? Punya kekuatan supranatural apa, sih? Bisa membaca pikiran orang? Atau hanya peka kepada orang lain? Belum sempat aku menjawab, ia meneruskan, “Iya lah ya, sebagai seorang Dewinta Maharani, cewek yang dikenal perfect di sekolah ini…cantik, baik, pintar, populer, tajir masa kalah sama Dina yang biasa – biasa aja, pasti lo bertanya – tanya apa sih yang dicari Dion dari si Dina itu?”

Deg! Aku benar – benar tertohok mendengar perkataannya yang blak – blakan. Ni anak mikir dulu nggak sih sebelom ngomong kayak gitu? Sesabar - sabarnya gue, kan punya perasaan juga, bisa tersinggung juga. Tapi Ping – ping sungguh benar, aku memang ngerasa seperti itu. Aku terdiam.

“Kenapa diam aja, Rani? Maaf yah kalo gue ngomong blak – blakan gitu, tapi gue pengen Rani denger, biar nggak cemberut terus. Masa gue sebangku sama orang yang cemberut terus?”

Ni anak bener – bener gila, pikirku. Bukankah kata - katanya bikin aku tambah cemberut?

“Yang gue tahu tentang cinta…”

Tahu apa dia tentang cinta, orang kerjaannya main – main melulu, dasar sekya, mau sok tua dia, pikirku.

“…is not about love a perfect person, but love is about loving an ordinary person perfectly.” Aku terhenyak mendengarnya, rasanya aku pernah dengar kalimat itu, entah di mana. Tapi kenapa terasa lain saat seorang Ping – ping yang mengucapkannya dibarengi sebentuk senyum malaikatnya, begitu damai…tenteram…rasanya semua beban di pundakku hilang begitu saja.

Aku membalas senyumannya, lalu geleng – geleng kepala, “Ping, ping, bagaimana lo bisa se – wise ini, sekuat sekarang ini, ehm…maaf…gue sudah dengar tentang keluarga lo sebelumnya.”

“Haha…Rani, Rani nggak usah minta maaf segala, kayaknya udah banyak kok yang dengar tentang keluarga gue…”

Who lives in the pineapple under the sea…Spongebob squarepants… terdengar ringtone HP yang menggunakan theme song serial Spongebob, seluruh kelas yang tadinya sedang berkonsentrasi memperhatikan penjelasan Pak Beni, menoleh mencari HP siapa yang berdering lucu seperti itu. Semestinya sudah dapat diperkirakan HP siapa yang ringtone – nya lucu seperti itu. Ping – ping.

“Ping – ping, kan sudah diperingatkan beberapa kali kalau dikelas tidak boleh menyalakan HP?” tegur Pak Beni.

Ping – ping malah cengengesan dan menjawab, “Maaf, Pak. Lupa.”

“Dasar, Ping – ping. Ya sudah, sebagai hukumannya, sini kamu maju mengerjakan soal dari Bapak.”

Ping – ping berdiri dari tempat duduknya, sebelum melangkahkan kakinya, ia tersenyum ke arahku, lalu setengah berbisik ia berkata, “What doesn’t kill you, only make you strong…”

Selama beberapa menit, aku merenungkan ucapannya dan mulai bertanya – tanya siapa sesungguhnya teman sebangkuku ini.

p.s. published @kaWanku Juli 2006

Antara Aku dan Sepeda Bututmu

“Arigatô gozaimas1.” Aku menghela napas. Lega. Ucapan terima kasih dalam Bahasa Jepang dan bungkukan mereka semua menandakan berakhirnya latihan hari itu. “Naya, jangan lupa minggu depan ada ujian kenaikan tingkat.” Sensei2 Bi mengingatkanku. Aku mengangguk, melakukan ritsurei3, meninggalkan matras dan menuju ke ruang ganti untuk bertukar pakaian. Aku melangkah gontai, latihan tambahan yang berupa simulasi untuk ujian minggu depan memang benar – benar melelahkan. Yang terpikirkan olehku pada saat itu hanya pulang dan tidur.
“Sensei, pulang.” Pamitku. Sensei Bi tersenyum sambil menganggukkan kepala. Aku merasa sedikit bersalah membiarkan teman – temanku membereskan matras, sementara aku pulang. Tapi sungguh, tenagaku sudah hampir habis.
“Gue balik, ya. Sori, buru – buru.” Kataku sambil melambaikan pada teman – teman yang sedang membereskan matras. Beberapa menoleh ke arahku dan melambaikan tangan, “Daaah, Naya.”

***

‘Klek.’ Aku memutar kunci, membuka pintu, melempar tas ke bangku sebelah, dan duduk di depan kemudi. Kutarik napas dalam – dalam sambil memejamkan mata sebelum akhirnya kumundurkan mobilku untuk mengeluarkannya dari tempat parkir. Tiba – tiba, ‘Brak.’ Aku mendengar bunyi yang cukup keras. Mobilku menabrak sesuatu. Aku panik. SIM yang baru dua bulan kukantongi bisa – bisa ditarik, nih. Aku mematikan mesin dan keluar untuk melihat apa yang terjadi. Sebuah sepeda butut dan seorang cowok yang tak kalah dekil dari sepedanya bergelimpangan di belakang mobilku. Aku memeriksa mobilku, ada guratan sekitar 5 cm di bagian belakangnya.
“Lo nggak papa?” tanyaku pada cowok itu.

Dia cuma diam. Aduh mati, pikirku. Jangan – jangan dia meninggal, lagi. Kulihat stang sepeda bututnya bengkok, beberapa rantai putus. Rupanya aku telah menabraknya cukup keras. Aku mendekatinya dan…olala, ternyata dia memakai earphone. Kutarik earphone yang dikenakannya, “Lo nggak papa?” Aku mengulang pertanyaan. Cowok itu gelagapan dan menoleh ke arahku. “Kamu, gimana sih?” Pasti dia mau marah – marah karena aku telah menabraknya. “…kan lagunya lagi enak kok dicabut.” Ujarnya lagi. ‘Jger.’ Nih orang makhluk planet dari mana, sih? Aneh banget. Bukanya ngomel gara – gara kutabrak sampai jatuh, malah ngomel gara – gara earphone-nya kucabut. Jangan – jangan dia nggak langsung berdiri gara –gara masih kepingin dengerin lagu lagi? Pantesan dia nggak tau kalau aku memundurkan mobil. Kupingnya kesumbat, sih. Naik sepeda aja gaya. Hehe. Tapi ada untungnya juga kalau dia nggak marah gara – gara kutabrak. Kan aku nggak harus mengganti biaya pengobatan dan reparasi sepedanya.

Tapi…
“Maaf, ya. Lo nggak papa, kan?”
“Ng…nggak papa, kok.”
Oya, gue Rico.” Katanya tiba - tiba sambil mengulurkan tangan.
Sedikit terkejut, kusambut uluran tangannya, “Naya.”

***


Lima belas menit kemudian, kami sudah berada di Warung Soto Pak Amin yang

terletak tak jauh dari GOR yang menjadi dojo4 latihan aikido5-ku. Masih kuingat kata –

kata orang aneh di depanku.

“Nay, lo udah nabrak gue dan si Jengki…”

“Si jengki?”

“Iya, si Jengki, sepeda gue…”

“Oooh…”

“…Lo musti nemenin gue makan soto. Gue yang traktir.” Saat itu aku

memandanginya dari atas ke bawah. Hingga aku mengeluarkan kalimat, “Gue aja yang traktir lo. Kan gue yang nabrak.” Jujur, aku agak sedikit meragukan kondisi keuangannya.

“Oh, jadi lo ikut aikido ya?” tanya Rico sambil melahap sotonya.
Aku mengangguk. Mataku sedikit terpejam. Tangan kananku tertopang di dagu dan tangan kiriku memainkan ujung sedotan segelas es teh manis yang ada di hadapanku.

“Udah berapa lama?” tanyanya lagi.

“Dua tahun.”

“Oh, udah jago dong? Tingkat berapa? Udah pake rok item belom?”
Rok item? Pasti yang dia maksud hakama6.

“Nggak juga. Kyu7 dua. Ng, maksud lo hakama? Udah.”

“Hakama? Oh, tempat buat main lari-larian, hakama sekolah?”

Gubrak. Itu halaman, kali. Ternyata, selain aneh, orang ini bawel dan jayus pula. Lengkap deh penderitaan seorang Kanaya hari ini. Aku tersenyum paksa sambil menatapnya dengan pandangan ‘PDA’ alias Plis Dong, Ah!

Aku merasa seseorang menggoyang – goyangkan badanku. Aku tersadar. Rupanya aku tertidur di atas meja Warung Soto Pak Amin.
“Mbak, ini bonnya. Tadi temannya bilang, Mbak yang mau bayar semua ini.” Kata seorang pelayan sambil menyodorkan selembar kertas. Dan apa ini, astaga…

Nasi soto 20 X Rp6000,00 = Rp120.000,00

Teh Botol 20 X Rp2000,00 = Rp40.000,00

Es teh manis 1 X Rp1500,00 = Rp1.500,00 +

Rp161.500,00

Apa – apaan ini? Si dekil itu makan 20 mangkok? Sekarang di mana dia?
“Sebentar ya, Mas.” Aku segera berlari keluar. Tak kuhiraukan teriakan pelayan itu. Mataku mencari – cari batang hidung pria pelengkap penderita itu. Ketemu. Dia ada di lapangan parkir GOR bersama teman – temannya. Ya ampun, ternyata si pelengkap penderita itu adalah seorang breaker. Aku menemukannya sedang melakukan head spin. Tak peduli, apakah dia seorang breaker atau bukan, karena hari ini dia telah benar – benar menjadi “breaker” alias perusak hariku, aku harus membuat perhitungan dengannya.

Kuhampiri dia. “RICO, GUE MAU NGOMONG!.” Teriakku melawan dentuman keras lagu Jump Around yang sedang diputar. Tiba – tiba musik berhenti disusul teriakan, “Cieeeee, Rico…” oleh teman – temannya.

“HEH, RICO! LO GILA APA NGGAK WARAS, SIH?” Teriakku emosi.
“Emang apa bedanya gila sama nggak waras?” Balasnya dengan tampang tak berdosa. Lagi – lagi disusul teriakan riuh teman – temannya yang menonton. Aku merasa dipermalukan. Lalu kutarik dia menyingkir dari kerumunan. Teriakan teman – temannya makin menjadi – jadi. Aku tak peduli.

“MAU LO TUH APA, SIH? BELOM PUAS BIKIN GUE NGGAK BISA ISTIRAHAT

DENGAN TENANG?”

“Lho, bukannya tadi lo udah beristirahat dengan tenang? Tadi tidur lo pules banget, lho. Hebat, sepertinya lo bisa tidur di mana aja, ya. Gue salut.” Katanya sambil tersenyum dan menepuk – nepukkan tangannya. Bikin keki.

“IYA, TAPI LO SURUH GUE BAYAR SERATUS ENAM PULUH SATU RIBU LIMA RATUS UNTUK DUA PULUH MANGKOK SOTO YANG NGGAK SATUPUN GUE MAKAN?”

“Ya jelas, lo kan tadi tidur. Masa orang tidur disuruh makan? Hehe. Yang makan ya, gue dan temen – temen gue yang di sana…” jawab Rico sambil menunjuk teman – temannya di seberang sana dan melambai – lambaikan tangan pada mereka. Benar –

benar menyebalkan.

“KENAPA GUE HARUS TRAKTIR MEREKA?”

“Lho, tadi gue mau traktir. Lo bilang lo yang mau traktir?”

“…”

Aku kehabisan kata – kata. Aku lelah berdebat dengan makhluk yang satu ini. Ingin rasanya aku mempraktekan jurus – jurus aikido-ku padanya, tapi aku masih bisa menahan diri. Lalu kuputuskan untuk membayar semua itu dan pergi dari sana.
“Ya sudah, gue bayar.” Tandasku sambil berbalik karena aku sudah tak sanggup lagi menahan bulir – bulir air mataku. Air mata kekesalan. Aku sungguh tak mau dia melihatnya.

“Naya!” Panggilnya tiba – tiba.

Aku menghentikan langkahku.

“Apa lagi sekarang?”

Rico berlari – lari kecil menyejajarkan langkahnya dengan langkahku. “Maafin gue yah, Nay. Sebenernya gue kesel sama lo yang udah ngerusakin sepeda gue. Itu…sepeda nyokap gue dan…sekarang beliau udah nggak ada…lo…lo…ngerusak peninggalan beliau. Makannya…gue…gue ngelakuin ini semua. Tapi, gue liat lo nangis…gue jadi nggak tega buat nerusin ini semua…sori banget, Nay. Biar gue yang bayar semua…”

Aku terhenyak. Menatapnya tak percaya. Kuusap air mata yang mengalir di pipiku. Kulihat tangannya menjulur ke wajahku. Sepertinya ia hendak membantu mengusap air mataku. Reflek, tanganku menangkisnya. Ia terkejut dan menarik tangannya, “Sori…” ujarnya pelan. Lalu kami berjalan beriringan menuju Warung Soto Pak Amin. Sejak kapan “Setan” berubah wujud menjadi “Malaikat”? Pikirku. Setelah membayarnya semuanya ia menyenggolku dan berkata, “Karena lo udah ngerusakin si Jengki, lo musti anter gue ke bengkel sepeda.” Disusul seringaian menyebalkan. Hmm…dia sudah kembali berubah ke wujud semula.

***

Kejadian itu telah berlalu dan aku harus cukup puas dengan omelan panjang Papa yang intinya menyuruhku untuk hati – hati.

Dua minggu kemudian,

“Naya, besok kamu ada ulangan apa?” Tanya Mama begitu aku masuk ke rumah dan melempar tas sekolahku ke bangku.

“Nggak ada, Ma. Besok cuma ada PR Matematika, tapi udah selesai di sekolah.”

“Bagus. Malam ini kamu ikut Papa dan Mama ke pesta ulang tahun perusahaan tempat Papa bekerja, ya? Undangannya untuk satu keluarga.”

“Males ah, Ma. Bang Arief aja.”

“Nggak bisa. Besok bang Arief ada ujian.”

Pukul tujuh malam, aku berada di sana, memakai sackdress warna hitam dengan sedikit riasan tipis sedang menyantap makanan yang disediakan secara prasmanan. Ah, kenyang. Namun mataku menangkap stan dimsum. Tanpa pikir panjang, aku menghampiri stan itu dan mengantri.

“Maaf, Mbak. Itu yang terakhir.” Kata penjaga stan sambil menunjuk seseorang di depanku. Orang itu menoleh. Aku terkejut.

“Rico?”

“Naya?”

“Lo…lo can… ehm, ngapain di sini?” tanya Rico. Kalau aku tak salah dengar, ia hampir memujiku ya? Hehe.

“Aku lagi nemenin Papa sama Mama. Kamu sendiri ngapain?” kataku sambil tersenyum. Sebenarnya aku tak ingin mengakui bahwa malam itu Rico amat berbeda. Rico di hadapanku bukanlah Rico dekil yang mengendarai si Jengki. Rico yang ini lebih bersih, rapi, mengenakan setelan jas, dan terlihat ganteng.

“Gue…”

Belum selesai ia menjelaskan keberadaannya di sini, seorang pria berkumis datang menghampiri kami dan membisikkan sesuatu kepada Rico. Kulihat Rico mengangguk dan tersenyum padanya. Lalu ia menoleh padaku, “Naya ikut gue, yuk.” Ajaknya sambil menggandeng tanganku agar mengikutinya. Aku sedikit memberontak, tapi dia memperkuat genggamannya. Aku pasrah. Ia membawaku ke belakang panggung.

Dari pembicaraan orang – orang di sana, aku baru tahu bahwa Rico adalah anak Om Hartono, bos Papaku. Pemilik perusahaan di mana Papaku bekerja.
“Dan sekarang penampilan khusus dari putra tunggal Pak Hartono untuk anda sekalian. Kami panggilkan…RICO!” kudengar MC berteriak, disusul tepuk tangan riuh penonton. Papa dan Mama pasti ada di antara mereka, pikirku. Aku mematung di samping panggung.
Rico memberi hormat kepada para penonton dan duduk di kursi berwarna hitam mengilat. Di hadapannya, sebuah grand piano berdiri anggun. Jari – jarinya mulai menekan tuts – tuts hitam putih dan mulutnya bernyanyi indah, sebuah lagu lama yang manis,

“…Something telling me it might be you. It’s telling me it might be you. All of my life…” (It Might be You – Steven Bishop).

Sesekali ia menatapku yang berada di samping panggung. Aku canggung dan terpaksa membuang muka setiap kali pandangan kami beradu. Tapi aku tak juga pergi dari sana. Entah mengapa.

1 Terima kasih (Jepang)

2 Sebutan untuk guru (Jepang)

3 Hormat berdiri dengan membungkukkan badan ±30° dan jari – jari tangan menyentuh paha bawah atas atau lutut. Biasa dilakukan saat memasuki atau meninggalkan matras pada beladiri aikido.

4 Tempat latihan beladiri (Jepang)

5 Seni beladiri dari Jepang yang diciptakan oleh Morihei Ueshiba (O Sensei).

6 Seragam latihan mirip rok berwarna hitam. Digunakan oleh penyandang sabuk hitam dimulai dari Dan

1 untuk pria dan sabuk coklat, kyu 2, untuk wanita.

7 Tingkatan dalam aikido

Surat untuk Hujan Bulan Desember

Kepada Hujan Bulan Desember,

Tangisku masih tersisa kala itu. Saat kau ikut menangis, lebih deras, lebih kencang, dan akupun berhenti menangis.

Senyumku masih merekah kala itu. Saat kau torehkan semerbak aromamu, wangi tanah basah, dan akupun tersenyum lebar.

Jiwaku masih bisa menari kala itu. Saat kau bawa malaikat – malaikat maut bersama bening tetesmu dan jwakupun berhenti menari.

Aku sudah mati.

***

Sally masih memandangi kertas dengan tulisan tangan asing yang ia temukan di laci meja Silva, kakaknya. Rasanya baru minggu lalu ia dan Silva hang out bareng, makan es krim kesukaan mereka, nonton film terbaru di bioskop. Dan kemarin Sally menghadiri pemakaman Silva. Kecelakaan pesawat terbang. Sally masih tidak percaya.

Ia tidak terima Silva diambil begitu cepat dari keluarganya, dari teman – temannya, darinya. Silva dan Sally amat dekat, sampai kemarin, Sally percaya bahwa Silva tak pernah menyimpan satupun rahasia darinya. Namun hari ini Sally menemukan kenyataan lain ketika membongkar laci meja. Ia menemukan kertas itu dan sebuah buku harian berwarna ungu muda dengan gembok kecil berwarna perak. Sally tak pernah tau Silva memiliki benda itu. Rahasia apa yang tak mau Silva bagi dengannya, sampai – sampai ia menguncinya begitu rapat.

Rasa ingin tahu Sally terusik. Sally pun mencari- cari kunci buku harian ungu muda itu di laci Silva. Hasilnya nihil. Sally pun mulai bertanya – tanya dimana Silva menyimpan kunci buku hariannya. Dan apa pula maksud semua ini. Sebuah puisi dan sebuah buku harian yang terkunci.

‘Drrt..drrt.’ Hape Sally bergetar . 1 pesan diterima.

Sally, ini Dinda. Aku mau mengembalikan titipan Silva. Bisa ketemu?

Boleh, Kak. Di mana? Kapan?

Hmm… Irish Café, Sabtu ini, pukul 3 sore. Bisa?

Baiklah, Kak. Sampai ketemu.

***

Irish Café, 14.55.

Sally sengaja tiba lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Lagipula kuliahnya telah selesai dari pukul 14.30 tadi dan jarak kampusnya ke Irish Café cukup dekat. Kurang lebih 10 menit perjalanan dengan mobil. Sally masuk ke dalam Irish Café, hendak mengambil tempat di dekat jendela, namun urung. Itu tempat favoritnya bersama Silva. Akhirnya Sally mengambil tempat dekat pintu masuk dan memutuskan untuk memesan segelas teh Chamomile hangat untuk menenangkan pikirannya.

Tak lama kemudian, seorang gadis berambut sebahu dan bermata indah mendorong pintu café dan melangkah masuk. Menghampiri meja Sally, “Sally?” sapanya. Sally mengangguk lalu berdiri dan mengulurkan tangan. Gadis itu menyambut uluran tangan Sally sambil tersenyum, “Dinda.” Setelah perbincangan basa – basi mereka, Sally jadi tahu bahwa Dinda adalah teman kuliah Silva dan mereka cukup dekat.

“Jadi, Kak… barang apa yang ingin Kakak kembalikan padaku?”

“Ooh, itu… ini.” Kata Dinda sambil menyodorkan kunci kecil berwarna perak ke arah Sally.

Mata Sally terbelalak. Bagaimana bisa kunci yang dicarinya berada di tangan Dinda.

“Silva menitipkannya padaku sehari sebelum ia meninggal.” Dinda menjawab pertanyaan Sally yang belum sempat terucap.

“Bisa, Kakak ceritakan… mengapa Kak Silva menitipkan benda ini pada Kakak?”

Dinda mengangkat bahunya, “Entahlah… waktu itu dia hanya pamitan ke rumahku sebelum berangkat ke Sulawesi untuk melakukan penelitian sebagai bahan skripsinya. Lalu dia menitipkan ini.”

Sally menyesap teh chamomile-nya. Menanti kelanjutan cerita Dinda. Namun 2 menit barlalu tanpa suara. Dinda malah menyeruput espresso-nya seakan menantikan pertanyaan Sally selanjutnya.

“Begitu saja?” Sally memecah keheningan di antara mereka.

Dinda sedikit terhenyak sebelum akhirnya menganggukan kepala dan berkata, “Iya… dan Silva sempat bilang ia akan mengambilnya sepulang dari Sulawesi. Dan kalau dalam 1 bulan, ia tidak pulang, aku disuruh memberikannya padamu…” matanya berkaca – kaca saat mengucapkan kalimat terakhir itu.

Sally menggenggam tangan Dinda. Berusaha menenangkan. Ia hampir menangis lagi. Tapi air matanya tidak keluar. Mungkin sudah habis.

***

Rumah Keluarga dr.Rahman, 18.30.

Dugaan Sally benar. Kunci itu adalah kunci buku harian ungu muda milik Silva. ‘Klik.’ Gembok berwarna perak itu terbuka ketika Sally memutar kuncinya ke kanan. Jantung Sally berdebar – debar menanti rahasia apa yang disembunyikan Silva darinya.

Senin, 1 Januari 2007.

Selamat tahun baru! Setelah bertahun – tahun lamanya aku tak punya diari, akhirnya aku punya 1. Haha. Mungkin berguna kalau aku lagi nggak ada kerjaan. Atau mungkin ada yang ingin kusembunyikan dari Sally. Haha. Memang ada? Hmm… hari ini menyenangkan. Papa, Mama, aku, dan Sally merayakan tahun baru bersama di rumah. Makan waffle terenak buatan Mama sambil nonton acara tahun baru di tivi. It’s simply fun. I really love being part of this family. I hope we always have a moment like this. I love you, all. Okay, Silva… New year, New you. Be a better person=).

Minggu, 25 Februari 2007.

Haha, akhirnya aku menulis di buku harian ini. Lagi nggak ada kerjaan nih. Hari ini libur, tapi Sally nggak bisa diajak pergi, dia lagi study tour. Ehm, tadi aku mau ngajak Mama bikin kue tapi… kayaknya Papa sama Mama lagi berantem. Entahlah… setelah bertahun – tahun… baru kali ini aku mendengar mereka bertengkar. Jangan sampai Sally tahu, dia bisa shock. Dia kan sayang banget sama Papa dan Mama. She’s still a lil’ girl after all=).

Jumat, 2 Maret 2007.

Diary, hari ini aku pulang telat. Banyak yang harus kukerjakan di kampus. Sally sudah tidur padahal aku mau cerita kalo hari ini aku bertemu Edo, mantan pacarku waktu SMA. Nampaknya dia sudah banyak berubah. Dia menanyakan nomor teleponku yang sekarang, lho. Haha. Jangan geer, Silva.

Oya, sewaktu aku lewat di depan kamar Papa dan Mama, mereka sedang terlibat pembicaraan serius. Sungguh, bukan maksudku untuk mencuri dengar pembicaraan mereka. Tapi… pintu kamar yang sedikit terbuka itu membuatku penasaran.

Ya Tuhan, aku benar – benar tak berniat mengetahui rahasia ini… Sally, adik yang paling aku sayangi, bukan adik kandungku. Sally bukan anak kandung Papa dan Mama. Aku sempat mendengar Mama berkata bahwa keluarga ibu kandung Sally menginginkan Sally tinggal bersama mereka. Aku nggak mau Sally sedih, biarkan aku yang menyimpan ini sendiri. Siapapun kamu, Sally…Aku akan tetap sayang kamu sebagai adikku dan nggak akan berubah sampai kapanpun.

Sabtu, 3 Maret 2007

Diary, hari ini aku merasa jadi ninja. Haha. Jam 4 subuh tadi aku menggeledah ruang kerja Papa, mencari sesuatu tentang Sally. Tebak apa yang kutemukan? Akta kelahiran aseli Sally dengan nama Winda Lestari di bagian ibu dan nama ayah yang dikosongkan. Semua jadi terasa makin aneh. Apalagi aku menemukan puisi yang dibelakangnya bertuliskan alamat. Mungkin aku harus mendatanginya.

Senin, 5 Maret 2007

Hari ini pulang kuliah aku menyempatkan diri mendatangi alamat yang tertulis di belakang puisi itu. Ternyata sebuah rumah sakit jiwa. Aku menanyakan nama Winda Lestari pada seorang perawat senior berperawakan gemuk . Ia tersenyum ramah dan mengenaliku sebagai putri dr.Rahman. Yah, Papa memang seorang psikiater. Namun aku dan Sally sama sekali tak mewarisi bakatnya. Haha. Ia mengantarkan aku pada Ibu Winda Lestari. Di sepanjang lorong, orang – orang tak waras bertebaran. Beberapa di antaranya berusaha menggoda kami. Dengan sabar perawat senior itu menghalau mereka. Lalu iseng aku bertanya, “Suster kok nggak takut sama orang gila, sih?” Perawat itu menjawab,”Kenapa saya harus takut orang gila? Bahkan saya pun tak lebih waras darinya.” aku hanya tertawa kecil menanggapi pernyataannya.

Sosok Ibu Winda Lestari tidak terlihat seperi orang gila. Tubuhnya langsing, rambut hitamnya yang panjang tampak terawat. Bisa dikatakan ia cantik. Mungkin ia orang gila tercantik yang pernah kutemui. Aku memberanikan diri mengulurkan tangan. Mengajaknya berkenalan. Ia menyambutnya dengan ramah, “Winda.” Ia menyebutkan namanya dengan normal. Aku sampai heran mengapa ia dimasukkan ke rumah sakit jiwa ini. Perawat senior bertubuh gemuk yang belakangan kuketahui bernama Anna, hendak meninggalkan kami berdua namun kutahan. Aku masih belum yakin dengan Ibu Winda. Dengan diriku sendiri.

Aku mulai menanyakan perihal Sally juga tentang ayah kandung Sally, tentang puisi itu. Raut muka Ibu Winda yang sebelumnya ramah berubah. Ia tersenyum jahat dan mulai berkata, “Winda yang bodoh itu memang mudah ditipu oleh Farid, namun aku telah membunuh Farid atas perbuatannya sekaligus Winda agar tidak ada lagi wanita – wanita lemah dan bodoh seperti dia.”

Mendadak aku bingung. Apa arti semua ini?

“Baiklah, Christel… sudah malam, Silva harus pulang.” kata Suster Anna pada Ibu Winda sambil buru – buru menarikku keluar dari bangsal dan segera menggemboknya. Dari luar aku masih bisa mendengar suara tawa Ibu Winda. Atau Christel?

“Sudah lama Christel tidak muncul. Kamu membangkitkannya lagi, Nak.”

Aku mengernyitkan dahi. Bingung.

Kemudian Suster Anna menceritakan sebuah kebenaran. Dan semuanya jadi terasa begitu jelas. Bagaikan mendapat potongan – potongan puzzle yang hilang.

“Dahulu Winda adalah korban perkosaan seorang pemuda bernama Farid, yang tak lain adalah kekasihnya sendiri. Ternyata Winda memiliki kelainan jiwa sejak kecil. Dia punya beberapa kepribadian yang berbeda, salah satunya Christel yang mengaku sebagai seorang pembunuh bayaran. Sewaktu Winda tahu dirinya diperkosa dan mengandung anak hasil perkosaan tersebut, Christel muncul. Christel membunuh Farid sekaligus membunuh Winda dalam dirinya. Kamu lihat kan, Silva? Puisi itu? Buatan Winda sebelum Christel mendominasi. Polisi pernah memenjarakan Winda atas apa yang Christel lakukan pada Farid. Namun, Christel yang agresif berhasil melarikan diri dari penjara. Pihak kepolisian pun meminta dr.Rahman, ayahmu, untuk menangani kasus Winda.”

“…” Aku tak bisa berkata apa – apa.

“Selama Christel mengandung, ayahmu dan dr.Rusdi, seorang dokter kandungan, mengawasi Christel secara intensif. Ketika dalam pengawasan saja, Christel masih bisa melakukan usaha pengguguran kandungan. Dan saat anaknya lahir, ayahmu mengangkatnya menjadi bagian dari keluarga kalian. Anak itu… Sally, adikmu.”

Sungguh, aku tidak tahu harus berkata apa. Yang aku tahu adalah aku harus menyembunyikan ini semua dari Sally, sampai tiba saatnya ia dapat mengetahui dan menerima semua ini.

Selasa, 20 Maret 2007

Diary, besok aku berangkat ke Sulawesi. Kenapa perasaanku tidak enak yah? Mungkin lebih baik aku menitipkan kuncimu pada Dinda agar tak ada yang bisa membaca kamu, terutama Sally. Maaf aku tak bisa membawa kamu, diary. Karena sepertinya nggak akan ada waktu untuk menulisi kamu. Haha. Sampai jumpa. Nanti kalau aku sudah pulang, aku janji akan menuliskan banyak cerita pada lembar – lembarmu. Bye…

***

Rumah Keluarga dr.Rahman, 21.00.

Sally terpana. Rahasia terbesar Kakaknya adalah tentang dirinya. Ia menutup buku harian itu. Menarik nafas panjang, menahannya tiga hitungan, dan menghembuskannya perlahan.

‘Krrriiing’ telepon di ruang tengah berbunyi. Setengah berlari Sally mengangkatnya.

“Halo.”

“Sally, tolong bilang Mama, malam ini Papa pulang telat. Masih ada pasien. Kamu tolong temani Mama, yah. Dia pasti masih sangat terpukul dengan kematian kakakmu.” Terdengar suara dr.Rahman di seberang sana.

“…”

“Sally, kamu masih di situ kan, Sayang?”

“…”

“Sally?”

“Bukan, ini Christel.”

Dan yang ada di pikiran dr.Rahman saat itu hanyalah buru – buru pulang.