Kamis, 25 Desember 2008

Ping-ping

“Woi, Ping sini lo! Jangan lari! Dasar sekya! Udah SMA tapi kelakuan masih kayak anak kecil, bersihin celana olahraga gue yang lo coret – coret!” teriakan Dodo si ketua kelas membahana di seluruh kelas. Yang namanya disebut – sebut cuma cengengesan sambil lari menghindari jitakan Dodo.

٭

Yah, itulah Ping – ping, teman sebangkuku. Nama aslinya Pingkan. Jahilnya ampun – ampunan. Kelakuannya lebih sering kayak anak SD ketimbang anak SMA, apalagi didukung mukanya yang imut dan tubuhnya yang nggak cukup tinggi, Ping – ping benar - benar lebih cocok jadi anak SD. Aku, teman sebangkunya sudah cukup sering menjadi sasaran keusilannya. Mulai dari menyembunyikan barang – barang sampai mengikatkan tali sepatuku ke kaki meja. Yah, tabah saja, lah.

Tapi kadang – kadang kelakuannya yang sekya menguntungkan juga, he he. Waktu itu kelas kami sedang pelajaran kosong karena Pak Sarto, guru elajaran kewarganegaraan tidak masuk. Aku, selaku bendahara kelas sibuk menagih uang kas ke teman – teman yang belum membayar. Susahnya minta ampun, ada saja alasan mereka untuk tidak membayar uang kas. Padahal uang kas itu penting sekali untuk membayar fotokopi hand out dan soal – soal ulangan. aku melirik Ping – ping, ia sudah tidak berada di sebelahku. Mataku menelusuri kelas mencarinya.

Ia tampak sedang bermain karu dengan beberapa anak laki – laki.

“Yay, gue menang lagi!” teriak Ping – ping girang. “Yang kalah mesti joget ayam – ayam – bebek!” kata Ping – ping cengengesan.

“Gimana tuh, Ping?” tanya Udin, salah satu dari mereka.

“Ah, gimana sih lo pada? Nih gue ajarin. Ikutin, yah.”

Astaga, ia mengajari cowok – cowok itu menyanyi sambil menari, “Ayam, ayam, ayam, bebek…bebek, bebek, bebek, ayam…ayam entok bebek…bebek entok ayam…ayam bebek entok – entokan…” nyanyi Ping – ping sambil bergoyang.

Kemudian mereka menyanyi lagi sambil bergoyang bersama. Ya ampun, ini kelas 2 SMA atau kelas TK sih, pikirku. Tiba – tiba mata Ping – ping menangkap mataku, aku tersenyum, ia balas nyengir. Beberapa saat kemudian, ia mendatangiku, “Mau dibantu, Rani?” tanyanya padaku. Belum sempat aku menjawab, ia sudah menarik aku berdiri. Ia berdiri di belakangku dan memegang pundakku. Lalu ia berjalan sambil mendorongku hingga aku berjalan mengikuti langkahnya.

“Naik kereta api, tut…tut…tut…” Ping – ping menyanyi.

“Apa – apaan sih, Ping? Malu tau…”

Ping – ping cuek.

“Siapa yang belum bayar, Ran?”

Aku geleng – geleng kepala,

“Rio, Bayu, Andre, Gino, Tari, dan Sally.” Jawabku.

Masih dengan posisi seperti kereta api, aku dan Ping – ping mendatangi mereka satu per satu dan menagih uang kas. Selama itu aku cuma mengawali dengan kalimat pembuka seperti ‘halo, hai, dan sebagainya’ selebihnya Ping – ping yang bernegosiasi dengan mereka. Ajaibnya, mereka jadi mau mengeluarkan uang untuk membayar uang kas, kecuali Tari, itu juga karena dompetnya tertinggal di rumah.

Dengar – dengar dari temanku yang sejak SD satu sekolah dengan Ping – ping, Ping – ping adalah anak bungsu dari sebuah keluarga broken home. Katanya, ayah Ping – ping pergi dengan wanita lain, meninggalkan keluarganya, Ping – ping, ibunya, dan kedua abangnya. Kedua abangnya kini berada di pusat rehabilitasi karena ketahuan memakai obat – obatan terlarang. Well, buat Ping – ping, life isn’t as easy as she acts in. Tapi, kenyataannya bagaimana ia bisa seceria itu?

٭

Krrriiinng….

Bel tanda istirahat berbunyi. Aku beranjak dari tempat dudukku dan mengeluarkan buku yang akan kukembalikan ke perpustakaan. Lalu aku melangkah ke luar kelas. Sebelumnya, aku sempat melihat Ping – ping menjahili Dodo lagi.

٭

Cukup tentang Ping – ping. Hari ini aku sedang berbunga – bunga, kemarin malam, Dion, sang ketua OSIS meneleponku, walaupun untuk menanyakan tentang acara OSIS yang akan diadakan minggu depan, setidaknya kami sempat mengobrol sebentar. Yah, sebenarnya sudah lama aku menyukai Dion, dialah alasan utamaku ikut LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) yang sama sekali nggak mudah dan ngotot kepingin jadi pengurus OSIS. Masih kuingat jelas obrolan resmi yang menyenangkan itu.

“Halo, Raninya ada?”

“Iya? Saya sendiri…”

“Rani, ini Dion. Ehm, tentang lomba mading minggu depan. Gue pengin tau

perkembangannya.”

“Oh, beres. Minggu depan pasti jadi, kok. Pesertanya udah terkumpul dan urusannya udah beres.”

“Bagus. Lo emang selalu dapat diandalin, Rani.”

“Terima kasih. Ah, tapi nggak juga, kok. Gue masih bingung soal konsumsi. Dana udah ada. Tapi seksi konsumsi belom tau mau beli makanan apa. ”

“Oh, begitu. Mungkin besok kita bisa pergi bareng buat nyari makanan apa kira – kira yang cocok kita buat konsumsi. Gimana?”

“……Oh, Boleh – boleh.”

“Oke, deh kalo gitu. Thanks, yah. Sampai besok, Rani. Bye.”

“Bye, Dion.” Saat itu aku menutup telepon sambil senyum – senyum sendiri. Boleh, dong ge – er sedikit, Dion tadi bermaksud mengajakku jalan. Sepertinya dia ada hati sama aku. Hehe…

Ehm, obrolan kemarin sudah cukup membuatku senang, mungkin kami benar - benar bisa jalan bareng, makan bareng, atau…

Bruk! Karena keasyikan berpikir aku jadi meleng. Buku yang ada di tanganku terjatuh.

“Eh, sori Rani.” Kata sebuah suara yang sangat kukenal.

“Nggak papa, Ping. Guenya yang meleng, kok.” Kataku sambil tersenyum dan dibalas dengan sebuah cengiran khas Ping – ping.

Belum sampai satu menit adegan aku menabrak Ping – ping, tiba – tiba kami mendengar teriakan – teriakan kehebohan dari ujung lorong, “Cieee, yang baru jadian…” Aku dan Ping – ping sama- sama menoleh untuk mencari tahu siapa objek yang dimaksud.

Jgerr! Ya ampun…itu Dion sedang bergandengan tangan dengan…oh tidak!...si kuper Dina. Saat itu juga aku benar – benar merasa seperti seorang pecundang. Ping – ping nampaknya menangkap perubahan sikapku. Ia tak berkata – kata dan meninggalkanku sendirian sambil tersenyum penuh arti.

Aku tak lagi memperdulikan penjelasan Pak Beni tentang Teori Kinetik Gas, atau apapun itu. Aku tenggelam dalam kekesalan, kekecewaan, dan rasa sakit hatiku.

“Ssst…sst.”

Aku menoleh dan melihat Ping – ping tersenyum polos, polos sekali, benar – benar tanpa dosa. Entah mengapa aku jadi sedikit terhibur melihat senyumnya.

“Rani, yang gue lihat dari reaksi lo tadi, lo naksir sama Dion, ya? Dan lo ngerasa dipecundangi sama Dina, kan?”

Aku terkejut, darimana ia tahu semua itu? Punya kekuatan supranatural apa, sih? Bisa membaca pikiran orang? Atau hanya peka kepada orang lain? Belum sempat aku menjawab, ia meneruskan, “Iya lah ya, sebagai seorang Dewinta Maharani, cewek yang dikenal perfect di sekolah ini…cantik, baik, pintar, populer, tajir masa kalah sama Dina yang biasa – biasa aja, pasti lo bertanya – tanya apa sih yang dicari Dion dari si Dina itu?”

Deg! Aku benar – benar tertohok mendengar perkataannya yang blak – blakan. Ni anak mikir dulu nggak sih sebelom ngomong kayak gitu? Sesabar - sabarnya gue, kan punya perasaan juga, bisa tersinggung juga. Tapi Ping – ping sungguh benar, aku memang ngerasa seperti itu. Aku terdiam.

“Kenapa diam aja, Rani? Maaf yah kalo gue ngomong blak – blakan gitu, tapi gue pengen Rani denger, biar nggak cemberut terus. Masa gue sebangku sama orang yang cemberut terus?”

Ni anak bener – bener gila, pikirku. Bukankah kata - katanya bikin aku tambah cemberut?

“Yang gue tahu tentang cinta…”

Tahu apa dia tentang cinta, orang kerjaannya main – main melulu, dasar sekya, mau sok tua dia, pikirku.

“…is not about love a perfect person, but love is about loving an ordinary person perfectly.” Aku terhenyak mendengarnya, rasanya aku pernah dengar kalimat itu, entah di mana. Tapi kenapa terasa lain saat seorang Ping – ping yang mengucapkannya dibarengi sebentuk senyum malaikatnya, begitu damai…tenteram…rasanya semua beban di pundakku hilang begitu saja.

Aku membalas senyumannya, lalu geleng – geleng kepala, “Ping, ping, bagaimana lo bisa se – wise ini, sekuat sekarang ini, ehm…maaf…gue sudah dengar tentang keluarga lo sebelumnya.”

“Haha…Rani, Rani nggak usah minta maaf segala, kayaknya udah banyak kok yang dengar tentang keluarga gue…”

Who lives in the pineapple under the sea…Spongebob squarepants… terdengar ringtone HP yang menggunakan theme song serial Spongebob, seluruh kelas yang tadinya sedang berkonsentrasi memperhatikan penjelasan Pak Beni, menoleh mencari HP siapa yang berdering lucu seperti itu. Semestinya sudah dapat diperkirakan HP siapa yang ringtone – nya lucu seperti itu. Ping – ping.

“Ping – ping, kan sudah diperingatkan beberapa kali kalau dikelas tidak boleh menyalakan HP?” tegur Pak Beni.

Ping – ping malah cengengesan dan menjawab, “Maaf, Pak. Lupa.”

“Dasar, Ping – ping. Ya sudah, sebagai hukumannya, sini kamu maju mengerjakan soal dari Bapak.”

Ping – ping berdiri dari tempat duduknya, sebelum melangkahkan kakinya, ia tersenyum ke arahku, lalu setengah berbisik ia berkata, “What doesn’t kill you, only make you strong…”

Selama beberapa menit, aku merenungkan ucapannya dan mulai bertanya – tanya siapa sesungguhnya teman sebangkuku ini.

p.s. published @kaWanku Juli 2006

1 komentar:

kenmax mengatakan...

oiiii.. isinya campur aduk. haha

Posting Komentar