Kamis, 25 Desember 2008

Antara Aku dan Sepeda Bututmu

“Arigatô gozaimas1.” Aku menghela napas. Lega. Ucapan terima kasih dalam Bahasa Jepang dan bungkukan mereka semua menandakan berakhirnya latihan hari itu. “Naya, jangan lupa minggu depan ada ujian kenaikan tingkat.” Sensei2 Bi mengingatkanku. Aku mengangguk, melakukan ritsurei3, meninggalkan matras dan menuju ke ruang ganti untuk bertukar pakaian. Aku melangkah gontai, latihan tambahan yang berupa simulasi untuk ujian minggu depan memang benar – benar melelahkan. Yang terpikirkan olehku pada saat itu hanya pulang dan tidur.
“Sensei, pulang.” Pamitku. Sensei Bi tersenyum sambil menganggukkan kepala. Aku merasa sedikit bersalah membiarkan teman – temanku membereskan matras, sementara aku pulang. Tapi sungguh, tenagaku sudah hampir habis.
“Gue balik, ya. Sori, buru – buru.” Kataku sambil melambaikan pada teman – teman yang sedang membereskan matras. Beberapa menoleh ke arahku dan melambaikan tangan, “Daaah, Naya.”

***

‘Klek.’ Aku memutar kunci, membuka pintu, melempar tas ke bangku sebelah, dan duduk di depan kemudi. Kutarik napas dalam – dalam sambil memejamkan mata sebelum akhirnya kumundurkan mobilku untuk mengeluarkannya dari tempat parkir. Tiba – tiba, ‘Brak.’ Aku mendengar bunyi yang cukup keras. Mobilku menabrak sesuatu. Aku panik. SIM yang baru dua bulan kukantongi bisa – bisa ditarik, nih. Aku mematikan mesin dan keluar untuk melihat apa yang terjadi. Sebuah sepeda butut dan seorang cowok yang tak kalah dekil dari sepedanya bergelimpangan di belakang mobilku. Aku memeriksa mobilku, ada guratan sekitar 5 cm di bagian belakangnya.
“Lo nggak papa?” tanyaku pada cowok itu.

Dia cuma diam. Aduh mati, pikirku. Jangan – jangan dia meninggal, lagi. Kulihat stang sepeda bututnya bengkok, beberapa rantai putus. Rupanya aku telah menabraknya cukup keras. Aku mendekatinya dan…olala, ternyata dia memakai earphone. Kutarik earphone yang dikenakannya, “Lo nggak papa?” Aku mengulang pertanyaan. Cowok itu gelagapan dan menoleh ke arahku. “Kamu, gimana sih?” Pasti dia mau marah – marah karena aku telah menabraknya. “…kan lagunya lagi enak kok dicabut.” Ujarnya lagi. ‘Jger.’ Nih orang makhluk planet dari mana, sih? Aneh banget. Bukanya ngomel gara – gara kutabrak sampai jatuh, malah ngomel gara – gara earphone-nya kucabut. Jangan – jangan dia nggak langsung berdiri gara –gara masih kepingin dengerin lagu lagi? Pantesan dia nggak tau kalau aku memundurkan mobil. Kupingnya kesumbat, sih. Naik sepeda aja gaya. Hehe. Tapi ada untungnya juga kalau dia nggak marah gara – gara kutabrak. Kan aku nggak harus mengganti biaya pengobatan dan reparasi sepedanya.

Tapi…
“Maaf, ya. Lo nggak papa, kan?”
“Ng…nggak papa, kok.”
Oya, gue Rico.” Katanya tiba - tiba sambil mengulurkan tangan.
Sedikit terkejut, kusambut uluran tangannya, “Naya.”

***


Lima belas menit kemudian, kami sudah berada di Warung Soto Pak Amin yang

terletak tak jauh dari GOR yang menjadi dojo4 latihan aikido5-ku. Masih kuingat kata –

kata orang aneh di depanku.

“Nay, lo udah nabrak gue dan si Jengki…”

“Si jengki?”

“Iya, si Jengki, sepeda gue…”

“Oooh…”

“…Lo musti nemenin gue makan soto. Gue yang traktir.” Saat itu aku

memandanginya dari atas ke bawah. Hingga aku mengeluarkan kalimat, “Gue aja yang traktir lo. Kan gue yang nabrak.” Jujur, aku agak sedikit meragukan kondisi keuangannya.

“Oh, jadi lo ikut aikido ya?” tanya Rico sambil melahap sotonya.
Aku mengangguk. Mataku sedikit terpejam. Tangan kananku tertopang di dagu dan tangan kiriku memainkan ujung sedotan segelas es teh manis yang ada di hadapanku.

“Udah berapa lama?” tanyanya lagi.

“Dua tahun.”

“Oh, udah jago dong? Tingkat berapa? Udah pake rok item belom?”
Rok item? Pasti yang dia maksud hakama6.

“Nggak juga. Kyu7 dua. Ng, maksud lo hakama? Udah.”

“Hakama? Oh, tempat buat main lari-larian, hakama sekolah?”

Gubrak. Itu halaman, kali. Ternyata, selain aneh, orang ini bawel dan jayus pula. Lengkap deh penderitaan seorang Kanaya hari ini. Aku tersenyum paksa sambil menatapnya dengan pandangan ‘PDA’ alias Plis Dong, Ah!

Aku merasa seseorang menggoyang – goyangkan badanku. Aku tersadar. Rupanya aku tertidur di atas meja Warung Soto Pak Amin.
“Mbak, ini bonnya. Tadi temannya bilang, Mbak yang mau bayar semua ini.” Kata seorang pelayan sambil menyodorkan selembar kertas. Dan apa ini, astaga…

Nasi soto 20 X Rp6000,00 = Rp120.000,00

Teh Botol 20 X Rp2000,00 = Rp40.000,00

Es teh manis 1 X Rp1500,00 = Rp1.500,00 +

Rp161.500,00

Apa – apaan ini? Si dekil itu makan 20 mangkok? Sekarang di mana dia?
“Sebentar ya, Mas.” Aku segera berlari keluar. Tak kuhiraukan teriakan pelayan itu. Mataku mencari – cari batang hidung pria pelengkap penderita itu. Ketemu. Dia ada di lapangan parkir GOR bersama teman – temannya. Ya ampun, ternyata si pelengkap penderita itu adalah seorang breaker. Aku menemukannya sedang melakukan head spin. Tak peduli, apakah dia seorang breaker atau bukan, karena hari ini dia telah benar – benar menjadi “breaker” alias perusak hariku, aku harus membuat perhitungan dengannya.

Kuhampiri dia. “RICO, GUE MAU NGOMONG!.” Teriakku melawan dentuman keras lagu Jump Around yang sedang diputar. Tiba – tiba musik berhenti disusul teriakan, “Cieeeee, Rico…” oleh teman – temannya.

“HEH, RICO! LO GILA APA NGGAK WARAS, SIH?” Teriakku emosi.
“Emang apa bedanya gila sama nggak waras?” Balasnya dengan tampang tak berdosa. Lagi – lagi disusul teriakan riuh teman – temannya yang menonton. Aku merasa dipermalukan. Lalu kutarik dia menyingkir dari kerumunan. Teriakan teman – temannya makin menjadi – jadi. Aku tak peduli.

“MAU LO TUH APA, SIH? BELOM PUAS BIKIN GUE NGGAK BISA ISTIRAHAT

DENGAN TENANG?”

“Lho, bukannya tadi lo udah beristirahat dengan tenang? Tadi tidur lo pules banget, lho. Hebat, sepertinya lo bisa tidur di mana aja, ya. Gue salut.” Katanya sambil tersenyum dan menepuk – nepukkan tangannya. Bikin keki.

“IYA, TAPI LO SURUH GUE BAYAR SERATUS ENAM PULUH SATU RIBU LIMA RATUS UNTUK DUA PULUH MANGKOK SOTO YANG NGGAK SATUPUN GUE MAKAN?”

“Ya jelas, lo kan tadi tidur. Masa orang tidur disuruh makan? Hehe. Yang makan ya, gue dan temen – temen gue yang di sana…” jawab Rico sambil menunjuk teman – temannya di seberang sana dan melambai – lambaikan tangan pada mereka. Benar –

benar menyebalkan.

“KENAPA GUE HARUS TRAKTIR MEREKA?”

“Lho, tadi gue mau traktir. Lo bilang lo yang mau traktir?”

“…”

Aku kehabisan kata – kata. Aku lelah berdebat dengan makhluk yang satu ini. Ingin rasanya aku mempraktekan jurus – jurus aikido-ku padanya, tapi aku masih bisa menahan diri. Lalu kuputuskan untuk membayar semua itu dan pergi dari sana.
“Ya sudah, gue bayar.” Tandasku sambil berbalik karena aku sudah tak sanggup lagi menahan bulir – bulir air mataku. Air mata kekesalan. Aku sungguh tak mau dia melihatnya.

“Naya!” Panggilnya tiba – tiba.

Aku menghentikan langkahku.

“Apa lagi sekarang?”

Rico berlari – lari kecil menyejajarkan langkahnya dengan langkahku. “Maafin gue yah, Nay. Sebenernya gue kesel sama lo yang udah ngerusakin sepeda gue. Itu…sepeda nyokap gue dan…sekarang beliau udah nggak ada…lo…lo…ngerusak peninggalan beliau. Makannya…gue…gue ngelakuin ini semua. Tapi, gue liat lo nangis…gue jadi nggak tega buat nerusin ini semua…sori banget, Nay. Biar gue yang bayar semua…”

Aku terhenyak. Menatapnya tak percaya. Kuusap air mata yang mengalir di pipiku. Kulihat tangannya menjulur ke wajahku. Sepertinya ia hendak membantu mengusap air mataku. Reflek, tanganku menangkisnya. Ia terkejut dan menarik tangannya, “Sori…” ujarnya pelan. Lalu kami berjalan beriringan menuju Warung Soto Pak Amin. Sejak kapan “Setan” berubah wujud menjadi “Malaikat”? Pikirku. Setelah membayarnya semuanya ia menyenggolku dan berkata, “Karena lo udah ngerusakin si Jengki, lo musti anter gue ke bengkel sepeda.” Disusul seringaian menyebalkan. Hmm…dia sudah kembali berubah ke wujud semula.

***

Kejadian itu telah berlalu dan aku harus cukup puas dengan omelan panjang Papa yang intinya menyuruhku untuk hati – hati.

Dua minggu kemudian,

“Naya, besok kamu ada ulangan apa?” Tanya Mama begitu aku masuk ke rumah dan melempar tas sekolahku ke bangku.

“Nggak ada, Ma. Besok cuma ada PR Matematika, tapi udah selesai di sekolah.”

“Bagus. Malam ini kamu ikut Papa dan Mama ke pesta ulang tahun perusahaan tempat Papa bekerja, ya? Undangannya untuk satu keluarga.”

“Males ah, Ma. Bang Arief aja.”

“Nggak bisa. Besok bang Arief ada ujian.”

Pukul tujuh malam, aku berada di sana, memakai sackdress warna hitam dengan sedikit riasan tipis sedang menyantap makanan yang disediakan secara prasmanan. Ah, kenyang. Namun mataku menangkap stan dimsum. Tanpa pikir panjang, aku menghampiri stan itu dan mengantri.

“Maaf, Mbak. Itu yang terakhir.” Kata penjaga stan sambil menunjuk seseorang di depanku. Orang itu menoleh. Aku terkejut.

“Rico?”

“Naya?”

“Lo…lo can… ehm, ngapain di sini?” tanya Rico. Kalau aku tak salah dengar, ia hampir memujiku ya? Hehe.

“Aku lagi nemenin Papa sama Mama. Kamu sendiri ngapain?” kataku sambil tersenyum. Sebenarnya aku tak ingin mengakui bahwa malam itu Rico amat berbeda. Rico di hadapanku bukanlah Rico dekil yang mengendarai si Jengki. Rico yang ini lebih bersih, rapi, mengenakan setelan jas, dan terlihat ganteng.

“Gue…”

Belum selesai ia menjelaskan keberadaannya di sini, seorang pria berkumis datang menghampiri kami dan membisikkan sesuatu kepada Rico. Kulihat Rico mengangguk dan tersenyum padanya. Lalu ia menoleh padaku, “Naya ikut gue, yuk.” Ajaknya sambil menggandeng tanganku agar mengikutinya. Aku sedikit memberontak, tapi dia memperkuat genggamannya. Aku pasrah. Ia membawaku ke belakang panggung.

Dari pembicaraan orang – orang di sana, aku baru tahu bahwa Rico adalah anak Om Hartono, bos Papaku. Pemilik perusahaan di mana Papaku bekerja.
“Dan sekarang penampilan khusus dari putra tunggal Pak Hartono untuk anda sekalian. Kami panggilkan…RICO!” kudengar MC berteriak, disusul tepuk tangan riuh penonton. Papa dan Mama pasti ada di antara mereka, pikirku. Aku mematung di samping panggung.
Rico memberi hormat kepada para penonton dan duduk di kursi berwarna hitam mengilat. Di hadapannya, sebuah grand piano berdiri anggun. Jari – jarinya mulai menekan tuts – tuts hitam putih dan mulutnya bernyanyi indah, sebuah lagu lama yang manis,

“…Something telling me it might be you. It’s telling me it might be you. All of my life…” (It Might be You – Steven Bishop).

Sesekali ia menatapku yang berada di samping panggung. Aku canggung dan terpaksa membuang muka setiap kali pandangan kami beradu. Tapi aku tak juga pergi dari sana. Entah mengapa.

1 Terima kasih (Jepang)

2 Sebutan untuk guru (Jepang)

3 Hormat berdiri dengan membungkukkan badan ±30° dan jari – jari tangan menyentuh paha bawah atas atau lutut. Biasa dilakukan saat memasuki atau meninggalkan matras pada beladiri aikido.

4 Tempat latihan beladiri (Jepang)

5 Seni beladiri dari Jepang yang diciptakan oleh Morihei Ueshiba (O Sensei).

6 Seragam latihan mirip rok berwarna hitam. Digunakan oleh penyandang sabuk hitam dimulai dari Dan

1 untuk pria dan sabuk coklat, kyu 2, untuk wanita.

7 Tingkatan dalam aikido

0 komentar:

Posting Komentar