Kamis, 25 Desember 2008

Surat untuk Hujan Bulan Desember

Kepada Hujan Bulan Desember,

Tangisku masih tersisa kala itu. Saat kau ikut menangis, lebih deras, lebih kencang, dan akupun berhenti menangis.

Senyumku masih merekah kala itu. Saat kau torehkan semerbak aromamu, wangi tanah basah, dan akupun tersenyum lebar.

Jiwaku masih bisa menari kala itu. Saat kau bawa malaikat – malaikat maut bersama bening tetesmu dan jwakupun berhenti menari.

Aku sudah mati.

***

Sally masih memandangi kertas dengan tulisan tangan asing yang ia temukan di laci meja Silva, kakaknya. Rasanya baru minggu lalu ia dan Silva hang out bareng, makan es krim kesukaan mereka, nonton film terbaru di bioskop. Dan kemarin Sally menghadiri pemakaman Silva. Kecelakaan pesawat terbang. Sally masih tidak percaya.

Ia tidak terima Silva diambil begitu cepat dari keluarganya, dari teman – temannya, darinya. Silva dan Sally amat dekat, sampai kemarin, Sally percaya bahwa Silva tak pernah menyimpan satupun rahasia darinya. Namun hari ini Sally menemukan kenyataan lain ketika membongkar laci meja. Ia menemukan kertas itu dan sebuah buku harian berwarna ungu muda dengan gembok kecil berwarna perak. Sally tak pernah tau Silva memiliki benda itu. Rahasia apa yang tak mau Silva bagi dengannya, sampai – sampai ia menguncinya begitu rapat.

Rasa ingin tahu Sally terusik. Sally pun mencari- cari kunci buku harian ungu muda itu di laci Silva. Hasilnya nihil. Sally pun mulai bertanya – tanya dimana Silva menyimpan kunci buku hariannya. Dan apa pula maksud semua ini. Sebuah puisi dan sebuah buku harian yang terkunci.

‘Drrt..drrt.’ Hape Sally bergetar . 1 pesan diterima.

Sally, ini Dinda. Aku mau mengembalikan titipan Silva. Bisa ketemu?

Boleh, Kak. Di mana? Kapan?

Hmm… Irish Café, Sabtu ini, pukul 3 sore. Bisa?

Baiklah, Kak. Sampai ketemu.

***

Irish Café, 14.55.

Sally sengaja tiba lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Lagipula kuliahnya telah selesai dari pukul 14.30 tadi dan jarak kampusnya ke Irish Café cukup dekat. Kurang lebih 10 menit perjalanan dengan mobil. Sally masuk ke dalam Irish Café, hendak mengambil tempat di dekat jendela, namun urung. Itu tempat favoritnya bersama Silva. Akhirnya Sally mengambil tempat dekat pintu masuk dan memutuskan untuk memesan segelas teh Chamomile hangat untuk menenangkan pikirannya.

Tak lama kemudian, seorang gadis berambut sebahu dan bermata indah mendorong pintu café dan melangkah masuk. Menghampiri meja Sally, “Sally?” sapanya. Sally mengangguk lalu berdiri dan mengulurkan tangan. Gadis itu menyambut uluran tangan Sally sambil tersenyum, “Dinda.” Setelah perbincangan basa – basi mereka, Sally jadi tahu bahwa Dinda adalah teman kuliah Silva dan mereka cukup dekat.

“Jadi, Kak… barang apa yang ingin Kakak kembalikan padaku?”

“Ooh, itu… ini.” Kata Dinda sambil menyodorkan kunci kecil berwarna perak ke arah Sally.

Mata Sally terbelalak. Bagaimana bisa kunci yang dicarinya berada di tangan Dinda.

“Silva menitipkannya padaku sehari sebelum ia meninggal.” Dinda menjawab pertanyaan Sally yang belum sempat terucap.

“Bisa, Kakak ceritakan… mengapa Kak Silva menitipkan benda ini pada Kakak?”

Dinda mengangkat bahunya, “Entahlah… waktu itu dia hanya pamitan ke rumahku sebelum berangkat ke Sulawesi untuk melakukan penelitian sebagai bahan skripsinya. Lalu dia menitipkan ini.”

Sally menyesap teh chamomile-nya. Menanti kelanjutan cerita Dinda. Namun 2 menit barlalu tanpa suara. Dinda malah menyeruput espresso-nya seakan menantikan pertanyaan Sally selanjutnya.

“Begitu saja?” Sally memecah keheningan di antara mereka.

Dinda sedikit terhenyak sebelum akhirnya menganggukan kepala dan berkata, “Iya… dan Silva sempat bilang ia akan mengambilnya sepulang dari Sulawesi. Dan kalau dalam 1 bulan, ia tidak pulang, aku disuruh memberikannya padamu…” matanya berkaca – kaca saat mengucapkan kalimat terakhir itu.

Sally menggenggam tangan Dinda. Berusaha menenangkan. Ia hampir menangis lagi. Tapi air matanya tidak keluar. Mungkin sudah habis.

***

Rumah Keluarga dr.Rahman, 18.30.

Dugaan Sally benar. Kunci itu adalah kunci buku harian ungu muda milik Silva. ‘Klik.’ Gembok berwarna perak itu terbuka ketika Sally memutar kuncinya ke kanan. Jantung Sally berdebar – debar menanti rahasia apa yang disembunyikan Silva darinya.

Senin, 1 Januari 2007.

Selamat tahun baru! Setelah bertahun – tahun lamanya aku tak punya diari, akhirnya aku punya 1. Haha. Mungkin berguna kalau aku lagi nggak ada kerjaan. Atau mungkin ada yang ingin kusembunyikan dari Sally. Haha. Memang ada? Hmm… hari ini menyenangkan. Papa, Mama, aku, dan Sally merayakan tahun baru bersama di rumah. Makan waffle terenak buatan Mama sambil nonton acara tahun baru di tivi. It’s simply fun. I really love being part of this family. I hope we always have a moment like this. I love you, all. Okay, Silva… New year, New you. Be a better person=).

Minggu, 25 Februari 2007.

Haha, akhirnya aku menulis di buku harian ini. Lagi nggak ada kerjaan nih. Hari ini libur, tapi Sally nggak bisa diajak pergi, dia lagi study tour. Ehm, tadi aku mau ngajak Mama bikin kue tapi… kayaknya Papa sama Mama lagi berantem. Entahlah… setelah bertahun – tahun… baru kali ini aku mendengar mereka bertengkar. Jangan sampai Sally tahu, dia bisa shock. Dia kan sayang banget sama Papa dan Mama. She’s still a lil’ girl after all=).

Jumat, 2 Maret 2007.

Diary, hari ini aku pulang telat. Banyak yang harus kukerjakan di kampus. Sally sudah tidur padahal aku mau cerita kalo hari ini aku bertemu Edo, mantan pacarku waktu SMA. Nampaknya dia sudah banyak berubah. Dia menanyakan nomor teleponku yang sekarang, lho. Haha. Jangan geer, Silva.

Oya, sewaktu aku lewat di depan kamar Papa dan Mama, mereka sedang terlibat pembicaraan serius. Sungguh, bukan maksudku untuk mencuri dengar pembicaraan mereka. Tapi… pintu kamar yang sedikit terbuka itu membuatku penasaran.

Ya Tuhan, aku benar – benar tak berniat mengetahui rahasia ini… Sally, adik yang paling aku sayangi, bukan adik kandungku. Sally bukan anak kandung Papa dan Mama. Aku sempat mendengar Mama berkata bahwa keluarga ibu kandung Sally menginginkan Sally tinggal bersama mereka. Aku nggak mau Sally sedih, biarkan aku yang menyimpan ini sendiri. Siapapun kamu, Sally…Aku akan tetap sayang kamu sebagai adikku dan nggak akan berubah sampai kapanpun.

Sabtu, 3 Maret 2007

Diary, hari ini aku merasa jadi ninja. Haha. Jam 4 subuh tadi aku menggeledah ruang kerja Papa, mencari sesuatu tentang Sally. Tebak apa yang kutemukan? Akta kelahiran aseli Sally dengan nama Winda Lestari di bagian ibu dan nama ayah yang dikosongkan. Semua jadi terasa makin aneh. Apalagi aku menemukan puisi yang dibelakangnya bertuliskan alamat. Mungkin aku harus mendatanginya.

Senin, 5 Maret 2007

Hari ini pulang kuliah aku menyempatkan diri mendatangi alamat yang tertulis di belakang puisi itu. Ternyata sebuah rumah sakit jiwa. Aku menanyakan nama Winda Lestari pada seorang perawat senior berperawakan gemuk . Ia tersenyum ramah dan mengenaliku sebagai putri dr.Rahman. Yah, Papa memang seorang psikiater. Namun aku dan Sally sama sekali tak mewarisi bakatnya. Haha. Ia mengantarkan aku pada Ibu Winda Lestari. Di sepanjang lorong, orang – orang tak waras bertebaran. Beberapa di antaranya berusaha menggoda kami. Dengan sabar perawat senior itu menghalau mereka. Lalu iseng aku bertanya, “Suster kok nggak takut sama orang gila, sih?” Perawat itu menjawab,”Kenapa saya harus takut orang gila? Bahkan saya pun tak lebih waras darinya.” aku hanya tertawa kecil menanggapi pernyataannya.

Sosok Ibu Winda Lestari tidak terlihat seperi orang gila. Tubuhnya langsing, rambut hitamnya yang panjang tampak terawat. Bisa dikatakan ia cantik. Mungkin ia orang gila tercantik yang pernah kutemui. Aku memberanikan diri mengulurkan tangan. Mengajaknya berkenalan. Ia menyambutnya dengan ramah, “Winda.” Ia menyebutkan namanya dengan normal. Aku sampai heran mengapa ia dimasukkan ke rumah sakit jiwa ini. Perawat senior bertubuh gemuk yang belakangan kuketahui bernama Anna, hendak meninggalkan kami berdua namun kutahan. Aku masih belum yakin dengan Ibu Winda. Dengan diriku sendiri.

Aku mulai menanyakan perihal Sally juga tentang ayah kandung Sally, tentang puisi itu. Raut muka Ibu Winda yang sebelumnya ramah berubah. Ia tersenyum jahat dan mulai berkata, “Winda yang bodoh itu memang mudah ditipu oleh Farid, namun aku telah membunuh Farid atas perbuatannya sekaligus Winda agar tidak ada lagi wanita – wanita lemah dan bodoh seperti dia.”

Mendadak aku bingung. Apa arti semua ini?

“Baiklah, Christel… sudah malam, Silva harus pulang.” kata Suster Anna pada Ibu Winda sambil buru – buru menarikku keluar dari bangsal dan segera menggemboknya. Dari luar aku masih bisa mendengar suara tawa Ibu Winda. Atau Christel?

“Sudah lama Christel tidak muncul. Kamu membangkitkannya lagi, Nak.”

Aku mengernyitkan dahi. Bingung.

Kemudian Suster Anna menceritakan sebuah kebenaran. Dan semuanya jadi terasa begitu jelas. Bagaikan mendapat potongan – potongan puzzle yang hilang.

“Dahulu Winda adalah korban perkosaan seorang pemuda bernama Farid, yang tak lain adalah kekasihnya sendiri. Ternyata Winda memiliki kelainan jiwa sejak kecil. Dia punya beberapa kepribadian yang berbeda, salah satunya Christel yang mengaku sebagai seorang pembunuh bayaran. Sewaktu Winda tahu dirinya diperkosa dan mengandung anak hasil perkosaan tersebut, Christel muncul. Christel membunuh Farid sekaligus membunuh Winda dalam dirinya. Kamu lihat kan, Silva? Puisi itu? Buatan Winda sebelum Christel mendominasi. Polisi pernah memenjarakan Winda atas apa yang Christel lakukan pada Farid. Namun, Christel yang agresif berhasil melarikan diri dari penjara. Pihak kepolisian pun meminta dr.Rahman, ayahmu, untuk menangani kasus Winda.”

“…” Aku tak bisa berkata apa – apa.

“Selama Christel mengandung, ayahmu dan dr.Rusdi, seorang dokter kandungan, mengawasi Christel secara intensif. Ketika dalam pengawasan saja, Christel masih bisa melakukan usaha pengguguran kandungan. Dan saat anaknya lahir, ayahmu mengangkatnya menjadi bagian dari keluarga kalian. Anak itu… Sally, adikmu.”

Sungguh, aku tidak tahu harus berkata apa. Yang aku tahu adalah aku harus menyembunyikan ini semua dari Sally, sampai tiba saatnya ia dapat mengetahui dan menerima semua ini.

Selasa, 20 Maret 2007

Diary, besok aku berangkat ke Sulawesi. Kenapa perasaanku tidak enak yah? Mungkin lebih baik aku menitipkan kuncimu pada Dinda agar tak ada yang bisa membaca kamu, terutama Sally. Maaf aku tak bisa membawa kamu, diary. Karena sepertinya nggak akan ada waktu untuk menulisi kamu. Haha. Sampai jumpa. Nanti kalau aku sudah pulang, aku janji akan menuliskan banyak cerita pada lembar – lembarmu. Bye…

***

Rumah Keluarga dr.Rahman, 21.00.

Sally terpana. Rahasia terbesar Kakaknya adalah tentang dirinya. Ia menutup buku harian itu. Menarik nafas panjang, menahannya tiga hitungan, dan menghembuskannya perlahan.

‘Krrriiing’ telepon di ruang tengah berbunyi. Setengah berlari Sally mengangkatnya.

“Halo.”

“Sally, tolong bilang Mama, malam ini Papa pulang telat. Masih ada pasien. Kamu tolong temani Mama, yah. Dia pasti masih sangat terpukul dengan kematian kakakmu.” Terdengar suara dr.Rahman di seberang sana.

“…”

“Sally, kamu masih di situ kan, Sayang?”

“…”

“Sally?”

“Bukan, ini Christel.”

Dan yang ada di pikiran dr.Rahman saat itu hanyalah buru – buru pulang.

0 komentar:

Posting Komentar